Senin, 31 Januari 2011

PKBM Lembaga Pendidikan Alternatif

PENDIDIKAN bertujuan memajukan dan mencerdaskan bangsa. Melalui pendidikan manusia bisa membedakan yang baik dan buruk. Pendidikan juga merupakan suatu proses yang meliputi aspek material dan non material. Aspek material berupa sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan keduniaan dan aspek non material berupa segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek moral dan agama.

Pendidikan diharapkan menjadi tumpuan harapan bangsa. Karena melalui pendidikan diharapkan dapat menciptakan manusia yang berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia serta dapat mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang di era yang serba modern ini.

Dalam kerangka pembangunan pendidikan setidaknya ada dua isu pokok. Pertama, rendahnya pencapaian angka indeks pendidikan yang merupakan komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kedua, belum tuntasnya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Kedua isu tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep Education for All. Seperti kita ketahui salah satu penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah.

Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain hal di atas, batasan usia pendidikan dan biaya pendidikan terlalu tinggi yang diterapkan pada sekolah formal (SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA) juga salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan masyarakat usia sekolah.

Oleh karena itulah, mengacu Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, maka sejak 1998 Direktorat Pendidikan Masyarakat merintis pembentukan wadah pendidikan nonformal yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan di atas. Lembaga pendidikan non formal tersebut diberi nama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program pendidikan non formal lebih diorientasikan pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Program pendidikan nonformal diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha.

Sebagai upaya meningkatkan kualitas dan pemberdayaan PKBM di era otonomi daerah yang berlangsung sejak tahun 2001, maka dirasa perlu adanya antisipasi terhadap kebutuhan belajar yang semakin kompleks. Untuk itu mendesak untuk melakukan pengembangan program yang beraneka ragam.

Eksistensi PKBM

Berbicara masalah PKBM tentunya ada sebagian orang yang belum mengerti apa itu PKBM, namun bagi penyelenggara pendidikan non formal tentunya kata itu sudah tidak asing lagi. Sebagian besar masyarakat lebih mengenal kata-kata paket A, paket B atau paket C saja, itupun karena kebetulan ada anak-anak mereka yang tidak lulus pada waktu ujian nasional (UN) kemudian diharuskan mengikuti ujian kesetaraan paket A untuk SD/MI, paket B untuk SMP/MTs atau paket C untuk SMA/SMK/MA.

PKBM merupakan lembaga non formal yang menyediakan layanan pendidikan secara gratis bagi warga masyarakat kurang mampu dan tanpa batasan usia, menyelenggarakan berbagai program pendidikan non formal dan informal, mulai dari pendidikan yang terendah sampai ke jenjang pendidikan menengah, selain itu PKBM juga melaksanakan program kecakapan hidup (life skill) berupa kursus-kursus atau keahlian lainnya yang bertujuan memberikan keterampilan kepada masyarakat. Sebagai salah satu institusi pendidikan nonformal/pendidikan masyarakat maka PKBM bersifat fleksibel dan netral.

PKBM disebut fleksibel karena ada peluang bagi masyarakat untuk belajar apa saja sesuai dengan yang mereka butuhkan. Di PKBM masyarakat dapat secara demokratis mendesain kebutuhan belajar yang mereka inginkan. PKBM merupakan ujung tombak pelaksanaan pembangunan pendidikan non formal (PNF). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa PKBM merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan berbagai jenis program PNF seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Kesetaraan (Program Paket A, B dan C) Pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF), Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), Lembaga Pendidikan Kursus (LPK ) dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Oleh karena itu diharapkan peran PKBM ini bisa dimanfaatkan oleh warga masyarakat di sekitar PKBM itu berada. Pemerintah, dalam hal ini Ditjen PNFI juga mengharapkan sekurang-kurangnya setiap desa dan kelurahan memiliki sebuah PKBM. Salah satu strategi untuk pendirian PKBM di desa/kelurahan adalah menjalin kerjasama dengan masyarakat.
Pemikiran ini sangat logis, karena sebagian besar PKBM yang ada didirikan dan dikelola oleh masyarakat. Dan ini sesuai dengan konsep PKBM itu sendiri, yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat.
Di samping itu, pendirian PKBM harus diartikan sebagai pembentukan kelompok belajar dan bukan sebagai pembangunan ruang belajar (kelas) seperti yang dikenal dalam pendidikan formal. Kenyataan ini sesuai dengan prinsip fleksibelitas PNF yang tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Artinya kegiatan belajar mengajar di PKBM boleh di mana saja, selama tempat tersebut layak pakai dan memungkinkan, seperti meminjam gedung SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, balai desa, rumah, tempat ibadah atau tempat-tempat lainnya. Terlepas dari ide dan gagasan pemerintah di atas, tentunya ada persolan yang paling mendesak yaitu bagaimana cara mempertahankan PKBM yang sudah ada itu tetap eksis karena banyaknya persoalan yang dihadapi oleh PKBM, apalagi yang ada di daerah terpencil. Oleh karena itulah perlu dicarikan solusi yang bisa menjawab persolan ini, agar PKBM yang sudah berdiri sekarang jangan sampai ‘gulung tikar’.

Setidaknya ada dua pertanyaan yang akan mengemuka dari persoalan di atas, pertama, bagaimana cara mempertahankan lembaga PKBM yang sudah ada bisa tetap berjalan sesuai dengan keinginan pemerintah. Kedua, bagaimana menjadikan warga belajar tidak hanya mempunyai ilmu pengetahuan, tetapi juga mempunyai life skill.

Solusinya adalah dengan cara membuat manajemen yang bagus, manajemen yang bisa membawa suatu kemajuan bagi PKBM yang sudah ada, agar bisa diimplementasikan dengan program yang bisa memberikan life skill terhadap warga belajar. Namun, dalam menciptakan manajemen yang bagus dan bisa membuat kemajuan itu tentunya bukan pekerjaan mudah, tapi bukan berarti kita pesimistis karena itu bukan suatu yang mustahil.

Suwito Eko Pramono dalam tulisannya Manajemen Puskesmas sebagai Model Pengelolaan PKBM, memberikan formulasi yang bisa diterapkan, menurut beliau pengelolaan PKBM dapat dilakukan dengan mengadopsi model manajemen Puskesmas. Hal ini sangat dimungkinkan karena PKBM dan Puskesmas memiliki tugas dan fungsi yang sama, yaitu memberikan layanan kepada masyarakat yang memerlukan. Perbedaannya, Puskesmas memberikan layanan di bidang kesehatan, sedangkan PKBM memberikan layanan di bidang pendidikan non formal.
Namun menurut Suwito, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh PKBM. Pertama, PKBM harus menyelenggarakan berbagai program pendidikan agar mampu memberikan layanan pendidikan secara optimal kepada setiap warga masyarakat yang memerlukan Pendidikan. Kedua, apabila PKBM belum mampu memberikan layanan PKBM sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka PKBM harus dapat memberikan rujukan tempat belajar di PKBM lain, sehingga peserta didik dapat mengakses layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
Ketiga, antara PKBM satu dengan lainnya harus melaksanakan koordinasi agar pengembangan dan pelaksanaan program PNF tidak tumpang tindih. Akhirnya, hanya dengan adanya keseriusan dalam mengelola lembaga PKBM dan mampu mengaplikasikan manajemen yang baik, niscaya lembaga pendidikan non formal yang merupakan lembaga pendidikan alternatif ini bisa tetap eksis dan bisa terus memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan pendidikan yang benar-benar gratis. (*)

Home Scholing

Pendidikan Nonformal Homeschooling atau yang di-Indonesiakan menjadi sekolah rumah, merujuk pada UU No. 20 tahun 2003 terkategori sebagai pendidikan informal. Apa artinya? Pendidikan informal adalah pendidikan yang dilaksanakan oleh keluarga dan lingkungan. Kedudukannya setara dengan pendidikan formal dan nonformal.

Hanya saja, jika anak-anak yang dididik secara informal ini menghendaki ijazah karena berniat memasuki pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi, maka peserta pendidikan informal bisa mengikuti ujian persamaan melalui PKBM atau lembaga nonformal sejenis yang menyelenggrakan ujian kesetaraan.

Pendidikan informal selama ini memang kurang dikenal oleh masyarakat, padahal inilah model pendidikan paling 'laek' (kata orang Sasak) atau klasik. Orang tua jaman dulu, saat sekolah belum ada, hanya punya satu pilihan untuk mendidik anak-anak mereka, yaitu dengan mendidik sendiri. Kalaupun anak-anak berguru pada orang lain, itu dilakukan untuk menguasai keterampilan khusus lain yang tidak dikuasai orang tuanya. Pondasi pendidikan tetap berpusat pada keluarga.

Nah, bagaimana peran pendidikan informal bagi perubahan bangsa ini menjadi lebih baik? Saya kira hal itu akan sangat signifikan. Apalagi jika hal itu didukung oleh pemerintah, menguatnya kesadaran keluarga untuk menanamkan pondasi pendidikan di rumah akan membuat anak-anak memiliki memiliki visi hidup yang jelas, rasa optimis dengan masa depan, dan memiliki sikap hidup yang lebih posisitf karena berada dalam dukungan keluarga yang peduli dengan mereka secara keseluruhan.

Hal paling khas yang menjadi nilai lebih pendidikan informal dibandingkan model pendidikan lainnya adalah, kemungkinan yang lebih besar akan tergali dan terkelolanya potensi setiap anak secara maksimal. Bayangkanlah, banyak anak-anak yang bersekolah di sekolah formal, dengan aneka pelajaran dijejalkan pada mereka, ternyata pada akhirnya membuat mereka tak punya keterampilan mendeteksi bakat mereka sendiri, dan akhirnya mereka terjebak pada kebingungan memilih bidang kehidupan yang akan mereka jalani.

Ada yang kuliah jurusan Sastra Jerman tapi akhirnya jadi Bankir. Ada yang kuliah di jurusan Ekonomi, setelah lulus malah jadi artis. Begitu banyak kasus-kasus di mana orang menjalani bidang kehidupan dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang yang ditekuninya di sekolah. Mengapa bisa begitu?

Saya percaya bahwa itu disebabkan karena anak-anak tidak dapat menyadari talentanya sedari awal. Seringnya talenta ditemukan di luar gedung sekolah. Padahal jika orang tua menyadari dan anak-anak pun mampu menemukan bakat mereka sejak kecil, hasilnya pasti akan berbeda.
Mau mencoba?

Pendidikan informal tak buruk untuk dilirik oleh mereka yang menghendaki perubahan yang sangat mendasar dari generasi muda bangsa ini.

Rabu, 12 Januari 2011

Berbisnis Ala Hindhu

Cara Menolong Umat Secara Terhormat

Bisnis sesungguhnya suatu upaya kerjasama manusia untuk mensejahterakan hidupnya bersama di dunia ini. Dengan bisnis ini berbagai sumber-sumber ekonomi potensial dapat dikembangkan menjadi sumber ekonomi yang real. Menjadi sumber ekonomi yang real artinya secara nyata dapat memberikan tambahan produksi barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat. Kalau ada keseimbangan antara produksi barang dan jasa dengan kebutuhan masyarakat, maka hal itu sebagai salah satu syarat menciptakan ekonomi yang stabil. Bisnis memberikan berbagai lapangan kerja kepada masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Melalui bisnis ini manusia dapat memajukan berbagai aspek kehidupannya. Kalau kita perhatikan keadaan di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya, perkembangan bisnis sangat marak. Seharusnya kita sudah sangat makmur dan sejahtera. Tapi, mengapa kehidupan yang makmur sejahtera itu semakin jauh saja rasanya. Hal ini disebabkan tidak adanya keadilan dalam proses berbisnis. Mengapa tidak adanya keadilan, karena rendahnya moral dalam melakukan bisnis. Nilai modal berupa uang dan barang sangat tidak seimbang dengan nilai tenaga, ketrampilan dan keahlian manusia dalam melakukan bisnis. Uang dan barang dalam berbisnis jauh lebih utama dinilai tinggi dari nilai tenaga, keterampilan dan keahlian manusia. Hal ini karena hukum ekonomi tidak dilandasi moral

Memang hukum ekonomi akan berproses secara alami. Kalau jumlah SDM yang dibutuhkan lebih banyak dari daya tampungnya maka SDM itu akan menjadi lebih murah. Murahnya nilai SDM tersebut sesungguhnya jangan sampai melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan rasa keadilan. Karena rendahnya moral dalam melakukan bisnis timbullah hukum rimba. Hukum rimba atau dalam Nitisastra disebutkan Matsya Nyaya adalah yang kuat memakan yang lemah. Tenaga kerja yang melimpah menyebabkan sementara pebisnis melakukan tenaga kerjanya secara tidak bermoral. Banyak pebisnis yang usahanya sudah sangat menguntungkan tetapi karyawannya tidak digaji secara wajar. Pada hal pengusaha tersebut hidup mewah berlebihan. Rumah, mobil, perjalanan dan fasilitas hidup lainya serba berlebihan. Tetapi karyawan yang memiliki andil yang sangat besar dalam menyukseskan bisnisnya, mereka tetap saja dibayar rendah dan paling tinggi sudah merasa terpaksa bila harus membayar sesuai dengap Upah Minimum Regional. Sedangkan Upah Minimum Regional hitung-hitungannya berdasarkan kebutuhan fisik minimum. Bukan kebutuhan hidup minimum.

Di lain pihak Negara menentukan pembangunan manusia seutuhnya. Tetapi hitung-hitungan upah hanya sebatas kehidupan fisik yang minimum lagi. Hal inilah yang akan menimbulkan dosa sosial. Dalam kehidupan sehari-hari kita akan menyaksikan kehidupan yang kesenjangannya sangat mencolok. Ada orang di mana-mana punya rumah sampai mereka susah mau tidur di mana malam ini. Di lain pihak setiap tahun ada orang yang hidupnya sangat tegang karena kontrak rumah sudah habis. Sedangkan uang untuk ngontrak selanjutnya belum ada uang yang terkumpul. Untuk hidup sehari-hari saja masih sering ngutang sana-sini. Orang-orang yang duduk di pemerintahan diharapkan dapat menjembatani hal ini. Tetapi mereka umumnya sibuk menghadiri acara-acara seremonial dan pidato-pidato yang muluk-muluk tanpa bukti memperbaiki kesenjangan. Mereka pun tidak merasakan lagi hidup menderita karena sudah dilimpahi fasilitas yang berlebihan. Jangankan memperhatikan mereka yang jauh-jauh. Nasib bawahannya saja sering tidak mendapatkan perhatian yang wajar dan adil.

Ada sementara pebisnis yang ingin berbisnis yang benar dan wajar untuk membangun kesejahteraan bersama secara adil. Mereka pun sering mendapatkan berbagai kesulitan birokrasi yang berliku-liku. Bahkan Prof. DR. Sumitro Joyohadikusumo, bagawan ekonomi Indonesia pernah mengatakan bisnis Indones.a kena biaya siluman (informal cost) sampai 30 persen dari total biaya produksi. Hal ini juga sebagai pendorong munculnya bisnis tanpa moral. Dan bisnis tanpa moral itu memicu timbulnya tekanan bathin yang sangat kuat pada masyarakat luas, baik langsung maupun tidak langsung. Tekanan psikologis yang struktural ini cepat atau lambat akan memunculkan kekerasan sosial. Dari kekerasan sosial ini akan memunculkan dosa sosial yang lebih luas lagi. Motto bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya, meskipun secara teori sudah ditinggalkan, namun masib saja secara praktis digunakan. Hal itulah yang banyak menimbulkan berbisnis hanya mengejar keuntungan dengan mengabaikan niiai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang luhur

Bisnis Sebagai Media Beragama

Beragama itu bukanlah hanya memuja Tuhan dengan upacara-upacara keagamaan semata. Hakekat upacara agama sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran manusia akan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Dari kesadaran diri itu manusia dapat berbuat baik secara nyata pada sesama dan alam lingkunganya. Salah satu ciri manusia sebagai ciptaan Tuhan yang lebih sempurna dan makhluk lainnya adalah ia bisa bekerja sama dengan sesamanya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kerja sama dengan sesama manusia itu sebagai wadah untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai indikasi ia hidup semakin berkualitas. Kerjasama yang paling intensif itu adalah kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi secara adil.

Keberhasilan kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi ini akan menjadi dasar untuk membangun aspek hidup yang lainnya di dunia ini. Misalnya meningkatkan dinamika kehidupan berkebudayaan. Memajukan kebudayaaan membutuhkan dasar ekonomi yang kuat. Ekonomi yang kuat itu adalah ekonomi yang dibangun berdasarkan teori ekonomi yang wajar dan benar dengan landasan moral yang luhur. Kalau bisnis dipisahkan dengan pengamalan agama, maka bisnis itu akan menjadi garang hanya mengejar keuntungan saja bahkan sampai dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu hendaknya dikembangkan suatu paradigma bahwa berbisnis itu sebagai media beragama. Karena lewat bisnis kita bisa menolong banyak orang. Menolong sesama itu diajarkan oleh semua Agama. Lewat bisnis yang benar kita dapat menolong orang lain lebih nyata. Pertolongan itu adalah pertolongan yang terhormat Bukan seperti memberikan uang recehan kepada seorang pengemis di jalanan. Apa lagi sekarang orang akan lebih menghargai perbuatan nyata dari sekedar memberiikan nasehat.

Lewat bisnis kita dapat menampung berbagai bahan baku dari masyarakat. Dengan demikian bisnis itu sebagai media membuka pasar untuk menyalurkan produk masyarakat. Bisnis yang benar dapat memberikan lapangan kerja kepada banyak pihak. Seperti petani, peternak, pelaut, pengerajin, penambang, dan lain-lain. Demikian juga bisnis dapat menampung orang-orang yang memiliki keterampilan dan keahlian. Apa lagi kalau Bisnis itu menggunakan uang bank sebagai penguat modalnya. Ini artinya kita juga menggunakan uang rakyat yang nabung di bank bersangkutan. Bisnis yang menggunakan uang bank juga banyak dapat menolong orang lain. Masyarakat yang menabungkan uangnya di bank tesebut mendapatkan bunga. Bank yang mengelola simpanan masyarakat juga mendapatkan untung. Dari keuntungan tersebut bank dapat menampung tenaga kerja yang juga berasal dari masyarakat. Kalau kita betul-betul melakukan bisnis yang baik dan benar hal itu sesungguhnya media untuk melakukan ajaran Agama.

Agama mengajarkan agar setiap orang saling memperlakukan sesamanya dengan penuh kasih sayang. Lewat bisnis itu dapat berinteraksi sesama manusia untuk mengembangkan kasih sayang saling melayani untuk kehidupan bersama. Bisnis itu akan langgeng apabila dalam berbisnis itu tidak saling menghancurkan. Bisnis itu justru harus diupayakan untuk saling memelihara dengan sistem sinergi. Bisnis juga harus saling mempercayai dan memelihara kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya. Kalau konsep dan etika bisnis itu benar-benar dijalankan maka bisnis itu sesungguhnya wadah pengabdian pada sesama yang lebih nyata. Lewat bisnis yang benar itulah perputaran saling mengabdi dapat dilakukan. Hidup untuk saling mengabdi adalah hal yang diajarkan oleh agama manapun. Lewat bisnis yang normative dapat menguatkan daya beli rakyat. Dengan semakin kuatnya daya beli rakyat perputaran ekonomi-pun akan semakin sehat, sepanjang hal itu dijaga dengan norma-norma etika ekonomi yang berlaku.
Jadi, hakekat bisnis itu sesungguhnya memberikan banyak peluang untuk mengamalkan berbagai ajaran Agama. Karena bisnis dipisahkan bahkan dibuat ber-dikotomi dengan agama maka seringlah terjadi mala petaka dalam kehidupan berbisnis. Citra bisnis pun menjadi tercoreng. Saling percaya mempercayai pun menjadi semakin rapuh dalam kehidupan bisnis. Kalau bisnis itu diyakini sebagai media untuk mengamalkan agama, maka pebisnis itu tidak akan merasa bahwa bisnis itu miliknya. Usaha bisnis itu adalah titipan Tuhan yang harus dirawat sebagai media memberikan pekerjaan dan kesejahteraan kepada sesama umat yang memiliki akses dalam usaha bisnis tersebut. Apakah itu pemodalnya, managementnya, karyawannya, tidak akan merasa bahwa usaha bisnis itu miliknya dtu adalah Tuhan yang harus dirawat bersama-sama untuk mengembangkan kesejahteraan sampai anak cucu kita seterusnya.

  • Oleh : Drs Ketut Wiana.M.Ag
  • Penulis, Dosen Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri

Investasi Sebagai Media Beryadnya.

Saya beberapa kali mendapat kesempatan ikut menjadi konsultan bidang sosial budaya beberapa proyek. Ketika saya ikut sebagai konsultan Proyek Perencanaan BUIP (Bali Urban Infrastruktur Proyek) yang dibiayai oleh Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah RI, saya bertugas untuk memberikan masukan dan juga banyak mendapatkan suatu pelajaran yang sangat berharga. Dalam proyek perencanaan itu sangat ditegaskan, bahwa setiap kegiatan pembangunan tidak boleh melanggar empat hal, yaitu, Hukum, HAM, Lingkungan dan ciri khas sosial budaya. Kalau investasi tersebut dapat diwujudkan tidak melanggar empat hal tersebut, maka investasi itu benar-benar akan membawa masyarakat pada kehidupan yang sejahtera.

Investasi yang tidak melanggar empat hal itulah merupakan investasi yang layak. Kalau investasi itu diwujudkan dengan ambisi untuk memperkaya din sendiri dengan melanggar berbagai ketentuan, maka investasi itu akan membawa kehancuran tatanan hidup. Dalam investasi tersebut tidak dibenarkan ada istilah ganti rugi.Yang benar adalah ganti untung

Pembangunan yang benar tidak boleh mengorbankan siapa saja. Kalau ada di satu pihak ada yang dirugikan dan di lain pihak ada yang diuntungkan, apa lagi yang dirugikan itu justru mereka yang lemah dan kecil maka investasi yang demikian itu penuh dosa. Justru pembangunan itu harus menguntungkan semua pihak

Di Indonesia ada sebelas larangan dalam melakukan investasi yang sudah dituangkan dalam suatu Peraturan Pemerintah tentang pedoman berinvestasi di Indonesia. Namun karena kondisi penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah, maka hal itulah yang menyebabkan investasi di Indonesia masih banyak menimbulkan masalah. Supremasi hukum masih sering diintervensi oleh kekuasaan, politik dan kepentingan bisnis yang sempit

Sebelas larangan berinvestasi itu masih sering dilanggar. Demikian uga masalah HAM. Investasi yang baik tidak menimbulkan pelanggaran HAM.Seperti menabrak hak-hak rakyat sipil dengan semena-mena. Ada suatu investasi mengusur tanah dan rumah masyarakat tanpa memperhatikan nasib pemilik tanah dan rumah tersebut. Ada pasar yang dirombak dengan alasan dipermodern, ujung-ujungnya menggusur mereka yang lemah. Hak-hak mereka yang lemah tidak terlindungi dalam invesatsi tersebut. Lebih-lebih mereka yang tergolong masyarakat lemah, buta hukum, buta birokrasi dan lemah koneksi. Seharusnya hak-hak mereka justru mendapatkan perlindungan dalam proses investasi.

Lingkungan sering juga tidak diperhatikan dalam suatu proses investasi. Ada beberapa investasi yang sudah hampir rampung fisiknya barulah dibuatkan Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). Hal itu dibuat sekadar formalitas yang basa-basi. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi dalam suatu proses investasi yang benar dan baik

Konon di Amerika Serikat ada suatu investasi untuk membangun suatu supermarket yang modern. Setelah diadakan studi di lokasi yang akan direncanakan, ternyata ada sebuah telaga yang tidak begitu luas. Dalam telaga itu ada sejumlah ikan. Menurut hukum yang berlaku di Amerika Serikat, ikan tersebut termasuk ikan langka yang wajib dilindungi menurut ketentuan hukum. Demi tegaknya hukum, proyek tersebut dibatalkan di lokasi tersebut. Mengapa demi sejumlah ekor ikan proyek besar begitu dibatalkan. Hal ini demi kelestarian lingkungan. Karena spesies ikan itu memang langka. Kalau dibiarkan demi bisnis, satu demi satu spesies akan hilang. Suatu saat keturunan umat manusia akan hanya mendengar ceritra kosong tentang berbagai spesies di bumi ini. Seperti halnya dynosaurus dan beberapa binatang purba lainnya hanya ada dalam cerita dongeng saja

Demikian juga ciri khas budaya setempat tidak boleh tergusur akibat adanya investasi. Justru investasi itulah yang melestarikan ciri khas budaya suatu daerah atau negara. Membangun suatu peradaban yang berciri khas istimewa dan luhur bukanlah hal yang gampang. Terbentuknya peradaban dengan ciri yang khas, unik, istimewa dan luhur melalui suatu proses panjang. Ia tumbuh berkembang dari generasi ke generasi. Ciri khas budaya tersebut adalah sebagai suatu wujud budaya yang dapat membedakan budaya suatu daerah dengan daerah lainya. Atau ciri khas suatu negara yang dapat dijadikan media untuk membedakan ia dengan negara lainnya. Investasi harus melindungi keanekaragaman ciri khas budaya. Karena itu hidup manusia di dunia ini tidakjenuh dan monoton. Di samping itu filosofi yang melatarbelakangi keberadaan budaya yang khas itu dapat menjadi suatu objek studi banding yang menarik di antara suatu kekhasan budaya yang satu dengan budaya lainya. Hal itulah yang tidak boleh tergusur karena adanya investasi.

Kalau investasi itu diselenggarakan dengan motivasi mengejar untung sebanyak-banyaknya dengan tidak menghiraukan aspek-aspek lainya, seperti keadilan, kemanusiaan, lingkungan dan kejujuran, maka krisis pun akan tetap terjadi. Seperti kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Rusaknya moral berbagai pihak karena akan terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme. Kalau investor hanya mengejar untung untuk dirinya dalam proses investasi itu, maka malapetaka ekonomi pun akan terus melilit bangsa kita.

Investasi itu hendaknya benar-benar menggerakkan sumber-sumber ekonomi potensial menjadi ekonomi real. Artinya investasi itu nyata meningkatkan kesejahteraan masyarakat seluas-luasnya secara adil dan beradab. Adil ini memberikan orang sesuai dengan haknya. Hak timbul dan kewajiban. Kalau seseorang melakukan kewajibannya secara maksimal sesuai dengan normanya, maka ia pun hendaknya diberikan haknya sesuai dengan kewajiban yang dilakukannya itu. Harus dihitung dengan sebaik-baiknya dalam suatu investasi antara uang, tenaga dan keahlian yang diinvestasikan dalam suatu proses bisnis.

Orang yang menginvestasikan uangnya, tenaganya dan keahlianya harus dihitung secara adil, agar nantinya setelah ada keuntungan atau kerugian dinikmati atau ditanggung secara adil. Demikian juga dampak lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya yang ditimbulkan harus benar-benar diperhitungkan secara nyata, tidak hanya menjadi basa-basi formalitas saja.
Suatu investasi disamping memperhitungkan dengan cermat kelayakan ekonomi bisnis, juga hendaknya memperhitungkan proses investasi yang beradab. Maksudnya investasi itu hendaknya tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Tidak menyingkirkan ciri khas budaya yang sudah baik dan ajeg diterima oleh suatu lingkungan sosial. Investasi itu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, di mana investasi itu diwujudkan. Kalau hal ini dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka investasi itu sebagai media untuk melakukan Yadnya.
Mengapa investasi itu sebagai media beryadnya. Karena dalam investasi yang benar itu, semua pihak yang terlibat dalam proses investasi itu hams melakukan segala sesuatu itu dengan penuh keikhlasan demi tujuan yang mulia. Keikhlasan itu muncul setelah melalui suatu proses analisa mendalam, bahwa investasi itu akan membawa kemajuan hidup pada semua pihak. Pengorbanan yang dilakukan oleh investor akan membawa keuntungan kepada semua pihak tentunya termasuk sang investor. Para investor harus ada kesamaan sikap, bahwa dalam proses investasi harus didasarkan dengan konsep “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian”. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Bersakit-sakit dalam tanda kutip inilah sebagai suatu proses Yadnya

Belajar dan Cerita Lutung dan Kambing

Dalam proses investasi ini ada suatu cerita Tantri yang sangat populer di Bali. I Lutung bekerja sama dengan I Kambing menanam kacang panjang. Mereka berjanji, bahwa daun-daunya nanti diambil oleh Si Kambing. Sedangkan buahnya nanti untuk I Lutung. Setelah mereka berkerja sama berkebun kacang panjang, kacang pun tumbuh dengan suburnya. Daunnya rimbun namun belum berbuah. I Kambing tidak ambil pusing kacang tersebut belum berbuah. Karena sudah berdaun I Kambing langsung saja menikmati daun kacang tersebut. I Lutung protes, karena kacangnya belum berbuah. I Kambing tidak ambil pusing. Karena sesuai dengan perjanjian, daun-daunnya adalah hak Si Kambing. Karena sudah berdaun tentunya. Si Kambinglah yang punya hak. I Lutung pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia menjadi investor yang dirugikan.
Sesungguhnya kerja sama menanam kacang itu belum memberikan hasil yang semestinya. Karena belum berbuah, hanya baru berbunga. Bagi hasil itu baru layak dilakukan kalau kacang itu sudah berdaun dan berbuah. Cerita ini sebagai suatu sindiran janganlah kita bermain curang dalam suatu proses kerjasama dalam berinvestasi. Bahkan mencari kelemahan-kelemahan hukum dalam investasi bisnis untuk keuntungan diri sendiri dan tidak memikirkan kerugian teman sendiri.

Banyaknya muncul perkara hukum dalam proses bisnis dewasa ini karena para pebisnis banyak yang tidak menjadikan bisnis itu sebagai media beryadnya. Ajaran yadnya itu adalah suatu investasi fisik material, moral dan berbagai sumber daya lainnya. Tujuan yadnya untuk mencapai kondisi saling memelihara dengan tulus ikhlas. Kerjasama saling memelihara itu berjalan kontinyu dan konsisten. Inilah barang kali yang disebut pembangunan berkelanjutan. Kerjasama untuk saling memelihara itu disebut Cakra Yadnya dalam Bhagawad Gita III.16.

Tahun investasi ini hendaknya dijadikan tahun Cakra Yadnya untuk hidup saling memelihara dalam membangun kesejahteraan yang adil dan beradab. Raditya 145 – Agustus 2009.

Oleh : Drs. I Ketut Wiana, MAg

Senin, 10 Januari 2011

Lokasamgraha.

( Kesejahteraan Umat Hindu )

"Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan) hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, kata-katanya, dan pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain"

(Bhagawata Purana : 10.22.35)

Latar belakang :

Tujuan hidup manusia menurut Weda adalah kebahagiaan yang di dalamnya terkandung makna kesejahteraan, ketertiban, keselamatan dan kebebasan. Secara khusus tujuan hidup ini dirumuskan sebagai Catur Purusaartha, yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Untuk mencapai tujuan ini Weda menekankan pada upaya-upaya ritual (karmakanda). Upanisad lebih menekankan pada pencapaian kebebasan individu (jivanmukti) melalui jnana yoga, khususnya pengetahuan tentang Brahman dan atman. Bagawad Gita menjadikan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat (lokasamgraha) yang dicapai melalui karmayoga sebagai ajaran sentralnya. (Narayan Champawat).

Dr. Sarvepalli Radhakrishnan mengartikan lokasamgraha sebagai : "The maintenance of the world, stands for the unity of the world, the interconnectedness of society" (pemeliharaan dunia, berarti kesatuan dunia, kesalingterhubungan antar masyarakat"). Supaya dunia tidak jatuh ke dalam penderitaan phisik dan degradasi moral, supaya kehidupan bersama menjadi pantas dan terhormat, etika agama seharusnya mengontrol perilaku sosial.

Lokasamgraha, secara umum berarti "kesejahteraan bagi semua" (universal well-being). Di dalam keputusan ini Lokasamgraha, "Kesejahteraan bagi semua", lebih difokuskan kepada kesejahteraan bagi semua pemeluk Hindu. Pemeluk Hindu merupakan bagian dari masyarakat dunia. Tidak mungkin tercapai ketertiban dan kesejahteraan dunia, bila salah satu bagiannya, dalam hal ini para pemeluk Hindu, tidak sejahtera. Sejahtera disini dimaksudkan suatu keadaan dimana para pemeluk Hindu mencapai taraf hidup yang layak, bebas dari kemiskinan, material maupun spiritual.

Lokasamgraha adalah ideal masyarakat Hindu. Lokasamgraha mengisyaratkan, adanya kesadaran sosial dari masing-masing pemeluk Hindu, bahwa pencapaian masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang bebas dari kemiskinan material maupun spiritual, memerlukan adanya kesetiakawanan, solidaritas, saling tolong menolong, (bahasa Bali "salunglung sabayantaka"), atau kesalingterhubungan dari seluruh pemeluk Hindu.

Kesadaran, solidaritas sosial dan kesalingterhubungan ini melintasi klan, soroh, marga, dadia, padarman, suku bangsa. Dengan kata lain, setiap pemeluk Hindu, dimanapun dia berada, apapun klan, marga atau suku bangsanya adalah saudara bagi pemeluk Hindu lainnya. Penderitaan seorang pemeluk Hindu, adalah juga penderitaan bagi pemeluk Hindu lainnya. Kebahagiaan bagi seorang pemeluk Hindu adalah juga kebahagiaan bagi pemeluk Hindu lainnya. Solidaritas keumatan ini, dalam masyarakat Hindu di Bali disebut "suka duka". Konsep, norma, dan nilai-nilai suka-duka, perlu diperluas, tidak hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ritual atau upakara, tetapi juga meliputi bidang lain, seperti misalnya bidang ekonomi dan pendidikan. Dan tidak hanya bagi pemeluk Hindu yang berasal dari suku Bali, tapi mencakup seluruh pemeluk Hindu di Indonesia, apapun sukunya.

Bagaimana keadaan kita dewasa ini? Kalau kita melihat hasil sensus penduduk sejak tahun 1980 sampai tahun 2000, kita dapat menarik kesimpulan, diantara umat beragama di Indonesia SDM Hindu adalah yang paling lemah. Dari tahun ketahun, tingkat buta huruf umat Hindu adalah yang paling tinggi. Untuk sensus tahun 1980 tingkat buta huruf pemeluk Hindu adalah 38%, sensus tahun 1990 sebesar 25% dan tahun 2000 sebesar 16,9%, dengan rincian tingkat buta huruf untuk perempuan Hindu adalah 23,2% dan laki-laki adalah 10,4%.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa tingkat ekonomi pemeluk Hindu juga rendah, terbukti banyak dari mereka yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Dan seperti lingakran setan, karena pendidikannya rendah, umat Hindu tidak mampu menjadi manusia kreatif yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sementara di sisi lain, ada umat Hindu, baik secara individu, maupun kelompok serng membuat upacara-upacara besar dengan biaya mahal.

Dari sudut pandang agama lalu menimbulkan pertanyaan : apakah para pemeluk Hindu hanya mencari keselamatan bagi diri atau keluarganya masing-masing? Tidakkah agama Hindu memiliki ajaran tentang etika sosial, norma atau ajaran yang mendorong pemeluknya untuk ikut memikirkan dan membantu keselamatan, kesejahteraan sesama umat Hindu, di luar batas klan dan marganya?

Doktrin Etik Hindu .

Doktrin-doktrin etik (ethical doctrines) pemeluk Hindu didasarkan atas ajaran Upanishad dan pustaka suci tingkat kedua lainnya, seperti Smerti, Itihasa dan Pruana lainnya, yang semuanya bersumber pada otoritas Weda. Sekalipun penekannya pada etika subyektif, Upanisad tidak menolak nilai-nilai dari etika sosial. Misalnya disebutkan : "Seperti bau (harum) yang yang diterbangkan sampai jauh dari sebatang pohon yang dipenuhi bunga, demikian juga aroma perbuatan baik tercium sampai jauh." Beberapa dari kebajikan sosial (social virtues) ini adalah antara lain "keramahan terhadap tamu (hospitality), sopan santun (courtesy), dan kewajiban pada istri, anak-anak dan para cucu". Dalam salah satu Upanisad disebutkan, seorang raja, ketika menjawab pertanyaan seorang Reshi mengenai keadaan negaranya, mengatakan : "Di dalam negara saya tidak ada pencuri, orang kikir, pemabuk, tidak ada orang yang tidak memiliki tempat pemujaan di rumahnya, tidak ada orang bodoh, tidak ada lelaki yang melakukan gamya, apalagi perempuannya."

Tindakan-tindakan etik yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial diperintahkan kepada siapa saja yang mengidentifikasikan dirinya dengan dunia dan sadar akan tanggung jawab sosial mereka. Tanpa pengendalian etika, akan terjadi kekacauan, yang akan merusak pengembangan kebajikan spiritual. Menurut Upanisad, para dewa, yang merupakan penjaga dari masyarakat, menaruh halangan di jalan orang-orang yang mencari kebebasan dari samsara, atau dunia relatif ini tanpa terlebih dahulu melaksanakan tugas dan kewajiban sosial mereka.

Setiap manusia normal yang dianugrahi dengan kesadaran sosial (social consciousness) mempunyai paling sedikit tiga kewajiban untuk dilakukan : membayar hutang kepada Tuhan dan para dewa; kepada para Rsi, dan kepada para leluhur.

Pelaksanaan dari etika sosial, dalam ukuran yang luas, telah melindungi masyarakat Hindu dari serangan yang berupaya menghancurkannya. Sebaliknya pengabaian dari etika sosial, telah melemahkan vitalitas dari masyarakat Hindu. (Swami Nikhilananda : An Essey on Hindu Ethics).

Keadilan dan Kesejahteraan Sosial

Bahkan filosofi Hindu Wedanta mengandung ajaran tentang keadilan sosial. Advaita Wedanta, yang bersifat monisme, menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah Tuhan. Sesuai dengan filosofi ini Tuhan adalah lautan dan jiwa individu adalah ombak dari lautan, yang memiliki identitas sementaranya sendiri, tapi tetap sebagai bagian dari lautan. Sesuai dengan filosofi lainnya, Dwaita, atau dualisme, Tuhan dan manusia adalah terpisah; manusia seperti kendi tanah yang diisi air yang diambil dari lautan yang sama adalah Tuhan. Esensi dari hidup- prinsipnya atau kesadaran dari tiap orang adalah sama.

Kedua konsep ini akan menghasilkan kesadaran bersama yang membuat kita empati terhadap penyakit dan penderitaan orang lain. Karena kita tidak saja identik, tetapi sama dengan orang lain. Oleh karena itu kita seharusnya tidak segan untuk menolong orang lain.

Tetapi ada perbedaan yang lebar antara ide utama dari filosofi Hindu dan tingkah laku sosial Hindu. Jurang yang lebar antara si kaya dan miskin, dan orang kaya yang tak berperasaan kepada si miskin berlawanan dengan prinsip dari filosofi Hindu. Demikian juga membuat upacara besar dengan biaya mahal, sementara kita acuh tak acuh dengan umat Hindu lain yang tidak mampu, adalah berlawanan dengan filosofi Hindu

Pada setiap zaman, orang suci Hindu membuat sekolah untuk mengajarkan tekniknya sendiri untuk mencapai realisasi-diri, dengan yoga dan meditasi sebagai jalannya. Beberapa orang melayani orang miskin, sakit, dan yatim piatu. Jika kita semua ikut ambil bagian dalam hal ini, perbaikan ini tak berarti tanpa perbaikan secara menyeluruh. Bagaimana mungkin pundak kita bebas jika kaki kita masih terbenam di bumi ini?

Tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari filosofi Hindu. Setiap umat Hindu harus empati terhadap kebutuhan orang lain, karena merupakan bagian dari yang lainnya; sebenarnya mereka merupakan bagian dari Tuhan yang sama. Swami Dayananda Saraswati, pendiri dari Arya Samaj, sebuah gerakan pembaharu Hindu di abad 19, menempatkan kegiatan sosial sebagai bagian dari 10 prinsip yang beliau inginkan agar diikuti oleh semua umat Hindu. Tak ada seorang pun, kata beliau, harus bahagia dengan niat baiknya sendiri, tapi harus lebih berjuang untuk kebaikan bersama.

Swami mengatakan bahwa yoga, penyatuan dengan Tuhan, dan yadnya, korban suci, adalah pilar kembar agama Hindu. Beliau menyarankan agar semua umat Hindu melakukan lima jenis korban suci setiap hari: dua untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan realisasi-diri dan tiga untuk yang lainnya – untuk orang tua, tamu dan orang lainnya, persediaan untuk hidup dan lingkungan (Vidya Bhusan Gupta)

Lokasamgraha : perkembangan konsep.

Perobahan dalam tekanan ajaran Weda kepada Upanisad tidak bisa dipahami secara mudah karena perhatian utama dari tapa Upanisad adalah jivanmukti dan moksha untuk pribadi. Bereaksi terhadap keprihatinan sosial dan filosofi tertentu pada akhir millennium pertama sebelum zaman bersama (common era (ce), atau abad masehi) Bagawad Gita mengadopsi satu sikap sintesis dan kompormistis dan melegitimasi karma yoga tanpa mengesampingkan ajaran-ajaran mulia Hindu yang lainnya. Para penafsir modern dari Bagawad Gita seperti Vivekananda, Tilak, Sri Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Pandurang Shastri dan banyak lainnya lagi telah berpaling pada filosofi Lokasamgraha dan karma yoga dari Bagawad Gita untuk menjawab problem dan tantangan dari India modern. Membuktikan bahwa Bagawad Gita adalah sarvajanahitaparam shastram, sebuah kitab suci yang memperhatikan atau memberikan perhatian kepada setiap orang.

Bagawad Gita mengatakan : "saktah karmany avidavamso yatha, khurvanti bharata, kuryad vidvams tathasaktas cikirsur loka-samgraham" (Bagawad Gita : III.25). artinya : "Seperti orang yang bodoh yang bekerja keras karena keterikatan atas kerja mereka demikian seharusnya orang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial."

Dr. Sarvepalli Radhakrishnan menyebutkan bahwa tujuan dari agama adalah untuk menyepiritualkan masyarakat dalam rangka membangun persaudaraan di atas bumi ini. Veda meneguhkan kehidupan, seperti dalam mantra:

Sarve bhavantu sukhinah,

Sarve santu nirmayah,

Sarve bhadrani pasyantu

Ma kaschit duka bhag bhavet,

Om loka samasta sukhino bhawantu.

artinya:

Semoga semua hidup bahagia, semoga semua menikmati kesehatan yang baik, Semoga semua mendapat keberuntungan, semoga tiada seorangpun mengalami kesedihan, Semoga damai dimana-mana.

Mantra ini menekankan bahwa keselamatan pribadi bukanlah satu-satu tujuan, tetapi bahwa kesejahteraan mayarakat, terutama masyarakat para pemeluk Hindu, adalah sama pentingnya bahkan jauh lebih penting.

Dunia dewasa ini tidak bisa dianggap sebagai maya atau ilusi tapi sebagai suatu yang sangat nyata, dimana penderitaan dan kesedihan adalah fakta kehidupan, dan bahwa dunia penderitaaan dan kesedihan tidak dapat diabaikan dalam pengejaran moksha pribadi. Swami Vivekananda menyebut Tuhan sebagai daridra narayan menyatakan dengan sangat jelas prinsip-prinsip dari neo-Vedanta karena ia percaya bahwa konsep-konsep mulia dari Advaita Vedanta haruslah tersedia bagi mahluk yang paling lemah dan paling sederhana, dan oleh karenanya ini akan memberikan agama Hindu wawasan yang lebih universal.

Sarasamuccaya menyebutkan : "dhaarmarthamkammamoksanam pranah samsthiti hetavah tan nighnata kin na hatam raksa bhutahitartha ca" (Sarasamuccaya : 135). Artinya : oleh karenanya usahakanlah kesejahteraan makhluk itu jangan tidak menaruh belas kasihan kepada segala makhluk, karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjamin tegaknya catur purushaarta, empat tujuan hidup, yaitu dharma, artha, kama dan moksha; jika mau mencabut nyawanya mahkluk betapa itu tidak musnah olehnya; demikianlah orang yang menjaga kesejahteraan makhluk itu, dia itulah yang disebut menegakkan catur warga (catur purusharta); dinamakan abhutahita, jika sesuatunya itu tidak terjaga atau terlindungi olehnya.

Selanjutnya Sarasamuccaya mengatakan : "dhanani jivitam caiva parrthe prajna utsrajet, sannimittam varam tyago viase niyate sati" (Sarasamuccaya : 175). Artinya : "Maka tindakan orang yang tinggi pengetahuannya, tidak sayang merelakan kekayaannya bahkan nyawanya sekalipun, jika untuk kesejahteraan umum; tahulah dia bahwa kematian pasti datang dan tidak ada sesuatu yang kekal; oleh karena itu adalah lebih baik berkorban demi untuk kesejahteraan umum."

Dua ribu tahun silam, Raja Bhartrihari menulis dalam Niti Sataka : "Tanpa diminta, sinar matahari memekarkan bunga padma yang kuncup, bulan memekarkan bunga kamalini (sejenis bunga sedap malam), dan awan mejatuhkan hujan. Demikian pula orang yang baik menolong orang lain atas keinginan mereka sendiri."

Orang baik dengan keinginan sendiri selalu ingin menolong seluruh manusia, khususnya para pemeluk Hindu, dan ia menganggap hal itu adalah kewajibannya yang utama.

Optimalisasi potensi untuk pengembangan mutu umat Hindu

Lokasamgraha sebagai suatu tujuan mulia dari masyarakat Hindu, dapat diwujudkan melalui suatu proses. Dimulai dengan proses tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan para pemeluk Hindu, bahwa masing-masing dari kita adalah bersaudara satu sama lain. Bahwa hakikat diri kita sebetulnya sama. Penderitaan bagi yang satu adalah penderitaan bagi yang lain. Kebahagiaan bagi yang satu adalah kebahagiaan bagi yang lain.

Masyarakat Hindu yang sejahtera, adalah merupakan jumlah total dari individu dan keluarga Hindu yang sejahtera. Pada hakikatnya setiap individu para pemeluk Hindu, harus mampu menciptakan kesejahteraannya sendiri, melalui karma atau tindakannya sendiri. Dan untuk itu dia haruslah memiliki kemampuan, keahlian, pengetahuan dan ketrampilan untuk menunjang profesinya, dengan mana ia mencapai kesejahteraan diri dan keluarganya.

Tetapi adalah fakta juga, karena keadaan ekonomi, banyak sekali keluarga Hindu yang tidak mampu menyekolahkan putra-putri mereka. Dan ini membuat mereka tidak mampu keluar dari kesulitan. Kesulitan dan kelemahan di bidang ekonomi rawan bagi fondasi keyakinan mereka terhadap agama Hindu.

Di pihak lain banyak dari para pemeluk Hindu yang mampu bahkan kuat secara ekonomi, pendidikan dan status sosial. Dan mereka pada umumnya memiliki ketulusan untuk berdana punia. Hanya saja sementara ini dana punia itu lebih banyak untuk tujuan yadnya dalam arti tradisional, yaitu upakara dan pembangunan tempat sembahyang.

Kini adalah saatnya bagi kita semua untuk memperluas makna yadnya, tidak saja pengorbanan dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama umat, berdasarkan ‘daya" (compassion atau cinta kasih) dan ‘dana’ (pemberian bantuan). Dana bukan untuk jangka pendek, atau karitas sentimental, berupa sedekah untuk sekedar menghilangkan lapar. Dana haruslah untuk suatu yang bersifat jangka panjang atau stategis, yaitu untuk peningkatan kualitas SDM Hindu. Dana bukan memberi ikan, tetapi memberi kail.

Agama yang tidak peka terhadap penyakit masyarakat dan tidak ikut ambil bagian dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern, tidak menarik bagi manusia modern. ( Sarvepalli Radhakrisnan)

Sabtu, 08 Januari 2011

ekonomi Hindhu

TIGA  BASIS MEMBANGUN KESEJAHTERAAN.
Bertani, beternak dan berdagang adalah tiga basis membangun keseahteraan ekonomi dalam kehidupan bersama di muka bumi ini. Mengkondisikan tiga basis ekonomi tersebut menjadi swadharma para Vaisya Varna sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita XVIII.44.

Pengembangan tiga basis ekonomi ini haruslah seimbang. Tidak boleh pengembangan industri perdagangan sampai merugikan eksistensi pertanian dan peternakan sebagai basis yang paling substansial dan suatu sistein ekonomi. Untuk menjaga keseimbangan itu haruslah melalui analisa ilmu pengetahuan yang adil dan jujur. Pengembangan ekonomi industri tentunya amat mulia. Tetapi tidak boleh ada dikotomi antara ekonomi agraris dengan ekonomi industri. Justru pengembangan ekonomi industri yang mendayagunakan sarana-sarana serba canggih dengan manajemen modern justru tidak meminggirkan sistem ekonomi agraris. Bahan dasar dan sistem ekonomi industri adalah pertanian dalam artian luas. Karena hakekat hidup manusia amat bersandar pada keberadaan sumber daya alam yang ada. Betapa pun majunya suatu sistem ekonomi industri tetap saja manusianya makan hasil pertanian dan peternakan. Justru pertanian dan peternakan harus dikuatkan eksistensinya melalui proses industri.

Dengan industri itu pertanian dan peternakan akan memberi nilai tambah pada usaha pertanian dan peternakan tersebut. Dalam ajaran Hindu tiga basis kesejahteraan ekonomi tersebut diajarkan dalam ilmu Athasastra Catur Vidya adalah empat ilmu untuk membangun masyarakat sejahtera. Catur Vidya yang ketiga menu- rut Resi Kautilya adalah Waarttaa. Dalam bahasa Sansekerta kata Waarttaa ini artinya mata pencaharian atau pekerjaan. Istilah ini di samping terdapat dalam kitab Arthasastra dinyatakan juga dalam kitab Manawa Dharmasastra VII. 43

Dalam Sloka Manawa Dharmasastra tersebut seorang pemimpin Negara (Raja) wajib mengupayakan Waarttaa (lapangan kerja) ini dengan baik sebagai syarat seorang pemimpin negara yang ideal. Waartta ini sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang khusus untuk mempelajari tentang cara mengembangkan lapangan kerja untuk masyarakat luas.
Dalam Slokantara 37 ada dinyatakan bahwa seorang Vaisya harus mengembangkan mata pencaharian (Waarttaa) dengan
tiga basis yaitu Krsi artinya pertanian, Goraksya artinya
peternakan, Vanijyam artinya perdagangan. Hal  ini juga dinyatakan lebih jelas lagi di dalam kitab Bhagawad Gita XVIII. 44 bahwa ada tiga basis membangun kemakmuran sebagai Swadharma Vaisya Varna yaitu Krsi, Goraksya dan Vanijyam.

Dalam sumber lain Gde Puja, MA., S.H., mengartikan Waarttaa itu sebagai ilmu agraria. Memang ekonomi agraria itu adalah menyangkut tiga basis tersebut. Bagaimana pun majunya suatu ekonomi industri seharusnya kehidupan agraria tidak boleh dilupakan sebagai sumber yang memberikan lapangan kerja kepada masyarakat. Ekonomi agraria yang berbasiskan pertanian, perdagangan dan peternakan adalah nenek moyang semua sistem ekonomi. Negara harus melindungi tiga basis’ ini untuk memberikan lapangan kerja kepada masyarakat. Kalau negara mampu memciptakan gairah hidup bagi mereka yang berkecimpung dalam tiga basis ekonomi tersebut maka pembangunan kesejahteraan akan menjadi lebih kuat.
Pertanian, peternakan dan perdagangan itu adalah sumber yang paling dasar dari hidup umat manusia. Betapa pun majunya suatu industri baik barang maupun jasa kalau tiga basis ekonomi tersebut terbengkalai maka daya tahan ekonomi itu tidak akan kuat

Orang tidak naik mobil, tidak mendengar radio atau nonton telivisi, tidak pakai sabun, tidak pakai sandal beberapa bulan, tidak akan apa-apa. Tetapi kalau sampai tidak makan, tidak minum untuk beberapa lama saja sudah tidak tahan hidup. Betapa pun majunya suatu negara seharusnya tidak boleh mengabaikan tiga basis tersebut.

Tiga basis kesejahteraan itu harus terus diupayakan oleh semua pihak agar masyarakat selalu bergairah untuk bekerja di tiga basis tersebut. Jangan dibiarkan tiga basis ekonomi tersebut menjadi turun gengsinya sebagai pencipta lapangan kerja.

Demikian juga tiga basis itu haruslah dibuat sedemikian rupa supaya dia bersinergi memberikan masyarakat lapangan kerja, memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan juga memelihara lingkungan alam dan lingkungan budaya. Jangan karena industri demikian maju sehingga pendapatan masyarakat sangat baik karena industri tersebut. Daya beli masyarakat sangat kuat.

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan maka sebagian terbesar kebutuhan itu di impor. Akibatnya di lingkungan masyarakat tersebut lahan pertanian dan peternakan pun ditinggalkan masyarakatnya. Banyak lahan tidur. Akibatnya lingkungan alam pun menjadi rusak.

Daya resapan tanah pada air menjadi sangat kurang. Ruang hijau menjadi langka. Polusi udara pun menjadi semakin padat dan luas. Sikap hidup masyarakat dan sikap hidup produktif menjadi sikap hidup konsumtif menjadi makin berkembang. Jenis tanaman dan hewan khas sebagai unggulan di suatu daerah pun bisa lenyap.

Kalau dalam bidang produksi pertanian dan peternakan suatu masyarakat terlalu tergantung pada produksi daerah lain maka apa yang disebut kemandirian akan makin jauh. Kalau ada suatu masalah di daerah pensuplai maka kehidupan ekonomi pun menjadi kacau.
Pertanian, peternakan dan perdagangan itu harus diciptakan saling menguntungkan. Misalnya petani mengolah sawah/ladangnya dengan menggunakan ternak sapi atau kerbau sebagai penarik bajak. Ternak tersebut tidak membutuhkan bahan bakar minyak.

Makanan ternak seperti rumput-rumputan dan daun-daunan dapat diproduksi sendiri di sawah dan ladang sendiri. Kotoran ternak itu pun menjadi rabuk tanaman di sawah dan ladang sendiri. Hasil sawah ladang dan ternak di jual di pasar desa atau kota yang tidak jauh dari domisili ini sudah saling bersinergi antara pertanian, peternakan dan perdagangan. Hal ini tentunya kita bicara dalam artian kehidupan agraris untuk membangun kesejahteraan di tingkat dasar.

Tentunya masalahnya akan menjadi lain kalau sudah bicara pertanian, peternakan dan pedagangan dalam artian industri. Apa lagi industri pertanian, peternakan dan perdagangan dengan orientasi ekspor. Pengembangan kehidupan industri tersebut tentunya sangat baik untuk dikembangkan, namun jangan mengabaikan kehidupan agraris yang paling dasar.
Justeru pengembangan ekonomi industri itu akan balk apabila tidak merusak sistem ekonomi agraris. Ekonomi industri dai agraris harus dibuat saling bersinergi tidak dibuat dikotomi seperti umumnya sering terjadi dalam era pembangunan ekonomi dewasa ini.

Bisnis-Bali,
Oleh :  I Ketut Wiana

Senin, 03 Januari 2011

Membangkitkan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan PKBM

Rujukan dari.

Unesco Asia and Fasific regional bereau for education, 2008. Community Learning Center, country Reports from Asia. Bangkok Unesco. 2008. ESD on the move. National and sub regional ESD initiaitif. Bangkok

Sebagai sebuah institusi, rancang bangun PKBM adalah masyarakat,artinya tanpa keberadaan masyarakat, PKBM tidak akan berdiri,Masyarakat adalah bagian inheren dalam sebuah organisasi PKBM, lalu ketika bagian inheren tersebut ditanyakan loyalitasnya, lalu muncul

pertanyaan seberapa PKBM telah mampu memberi layanan kepada masyarakat sebagaimana namanya sebagai lembaga tempat masyarakat belajar dan mengembangkan diri. Kata masyarakat sendiri merupakan istilah yang seksi di Indonesia akhirakhir ini, istilah pembangunan berbasis masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sekolah berbasis masyarakat, pengembangan masyarakat dan banyak lagi pengistilahan yang sepertinya tidak keren kalau tidak menggunakan kata “masyarakat”.

Tumbuhnya kegenitan kalau boleh saya istilahkan walaupun pada akhirnya berefek positif, tidal lepas dari peran ornop sebagai suatu bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini yang mencoba mendobrak kemapanan sistem orde baru yang sentralistik dan top down. Ketika pembangunan masa itu berupa pemaksaan dari atas, ornop mencoba membangun basis pembangunan berdasar apa kebutuhan dan keinginan masyarakat yang seringkali logika ini tidak sama dengan logika pemerinrtah saat itu. Maka mulailah istilah berbasis masyarakat mendapatkan tempat apalagi ada kesadaran yang mulai massif dikalangan akademisi cum aktivis bahwa peradaban dan kemajuan sebuah bangsa akan bisa didapat ketika masyarakat dibangunkan kesadarannya untuk membebaskan diri dari belenggu ketidakmerdekaan dan keterbelakangan. Dan ketika akademisi cum aktivis muali bergerak dan mendekat pada birokrasi maka birokrasipun mengadaopsi pola dan model pemberdayaan ini menjadi basis dari program-program yang dibangun, apalagi berbagai institusi keuangan dan pembangunan international [donor] kadang-kadang memberi persyaratan bahwa pola pembangunan yang boleh dan harus dilakukan harus berbasiskan pada kondisi masyarakat. Konsep PKBM lahir dari pemikiran bahwa masyarakat perlu diberdayakan, sehinngga perlu dimunculkan komunitas-komunitas dalam masyarakat yang mempunyai kesadaran berkumpulan dan mengorganisir diri sehingga menjadi wadah bagi masyarakat itu sendiri untuk saling belajar, saling asih dan saling asuh.

Tidak bisa disangsikan bahwa aroma ornop/LSM sangat kental dalam struktur dan kelembagaan serta program dari banyak PKBM, ketidakketatan pola dan model PKBM sebenanarnya menunjukkan betapa PKBM adalah narasi bebas bagi masyarakat, ketika masyarakat merupakan individu dan kelompok yang bervariasi maka PKBM pun boleh bervariasi. Hal ini pun merupakan titik keunggulan dari PKBM sebagai sebuah institusi, ketika keketatan institusi formal membuat gerak langkah tidak bebas maka pola kebebasan PKBM membuka ruang bagi PKBM untuk bergerak selincah LSM dalam merancang, mengelola dan mengembangakan institusi pemberdayaan, namun dibandingkan dengan LSM, PKBM mempunyai kedudukan yang lebih baik, seperti kita ketahui bahwa sampai hari ini ketika jumlah LSM menjadi tidak terkendali [dan memang tidak bisa dikendali] dengan berbagai tingkah, lagak dan kenederungannya, maka PKBM masih dilihat sebagai institusi yang cukup pure, dalam arti tidak dipandang sebelah mata seperti lsm yang hari ini tidak lagi dianggap murni namun lebih sebagai media kepentingan. Posisi seperti inilah yang seharunya meletakkan PKBM pada posisi yang positif baik di lihat dari kacamata pengambil kebijakan [pemerintah], maupun dimata masyarakat.

Dilihat dari latar sejarah, kelahiran PKBM, CLC dapat dirunut dari upaya berbagai kelompok masyarakat yang didominasi oleh LSM/ornop dalam membangun sebuah institusi masyarakat yang mampu memberdayakan diri sendiri dengan sokongan pada masa itu dari berbagai LSM. Lalu ketika Unesco APPEAL mencanangkan pengembangan CLC di berbagai Negara asia pasifik maka pertumbuhan PKBM/CLC menjadi sangat luar biasa. Dari sisi jumlah CLC yang telah dibangun menunjukkan pertumbuhan yang sangat luar biasa.

Di Veitman sampai pertengahan 2008 total jumlah CLC mencapai 5,384 buah, di Thailand mencapai 8,057 buah, sedangkan Indonesia mencapai 3,064 buah. Jumlah ini sangat bervariasi dari cakupan program, ebsaran program, dan kuantitas dan kualitas kelembagaan. Ketika posisi sangat memungkinkan, ketika peran telah mendapatkan pengakuan dalam UU [coba bandingkan dengan LSM] maka seharunya PKBM lebih mempunyai peran dalam membangunkan keberdayaan masyarakat melalui pendidikan non formal. Namun kenyataanya peran PKBM masih terbelenggu pada ranah yang masih sempit tak selebar peran yang bisa dilakukan.

Dalam ranah yang sempit pun seolah PKBM terlepas dari akar masyarakatnya. Kembali ke pertanyaan diawal makalah ini, yang mempertanyakan peran masyarakat menunjukkan PKBM tercerabut dari masayarakat yang ada disekelilingnya. Keinginan melibatkan masyarakat dalam mengelola PKBM adalah sebuah keharusan dan malah hukumnya wajib, dan disinilah tanatangan terbesar yang akan dihadapi oleh kita semua yang berkecimpung di dalam dunia perPKBMan. Hanya masalahnya kita harus mulai darimana. Pelibatan masyarakat dalam institusi PKBM dapat dilihat dari dua perspektif, perspektif pertama menempatkan masyarakat sebagai pelaku aktif dalam pengelolaan PKBM. Sebagai pemain aktif maka masyarakat memberi kontribusi secara aktif dalam pengelolaan PKBM. Keaktifan masyarakat tidak hanya dalam mengelola namun juga dalam mengembangkan PKBM. Dalam perspektif yang berbeda, pelibatan masyarakat dapat dilihat sebagai adanya respon positif masyarakat dalam setiap program dan kegiatan PKBM, respon disini bisa berupa aktif menjadi anggota dan menjalankan program PKBM

Dalam menjalankan kedua perpektif tersebut, PKBM harus merubah mindset kelembagaan, PKBM harus memetaformiskan diri menjadi organisasi yang terbuka. Terbuka dalam arti harus lebih membuka diri terhadap masyarakat sekitar, dan yang lebih penting segera mempraktikan

akuntabilitas baik dari sisi ketebukaan sistem kaderisasi dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan. KENALI LEBIH DALAM MASYARAKAT SEKITAR. PKBM lahir, besar dan berkembang di dalam masyarakat, namun seringkali individu-individu kurang mengenal apa kebutuhan masyarakat sekitar. Maka semenjak awal PKBM perlu melakukan pemetaan yang mendalam mengenai situasi dan kondisi masyarakat sekitar, tidak sekedar data dasar yang harus dimiliki data-data pendukung selayaknya perlu dimiliki oleh PKBM.

Dalam hal PKBM memposisikan sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk berbenah dan menjadi lebih baik, jangan sekali-kali PKBM memposisikan sebagai fihak yang banyak tahu apa kebutuhan dan keinginan dari masyarakat. Karena tidak selalu apa yang baik dimata masyarakat baik dimata PKBM dan sebaliknya, ketika titik temu antara PKBM sebagai institusi dan masyarakat sebagai subjek dari kehadiran institusi bernama PKBM maka program dan agenda PKBM tidak saja akan berkembang namun juga akan didukung oleh masyarakat. Baru ketika masyarakat sekitar tergarap dengan pola yang lebih komperehensif, pola yang sama dilakukan dimasyarakat yang lebih luas, dalam hal ini PKBM perlu membangun sistem kaderisasi dan pembentukan fasilitator di tiap-tiap wilayah. Gunanya fasilitator ini sebagai tangan kanan PKBM di wilayah tersebut. Sehingga problem wilayah tersebut dapat dijadikan sumber program dan kegiatan PKBM.