Rabu, 12 Januari 2011

Berbisnis Ala Hindhu

Cara Menolong Umat Secara Terhormat

Bisnis sesungguhnya suatu upaya kerjasama manusia untuk mensejahterakan hidupnya bersama di dunia ini. Dengan bisnis ini berbagai sumber-sumber ekonomi potensial dapat dikembangkan menjadi sumber ekonomi yang real. Menjadi sumber ekonomi yang real artinya secara nyata dapat memberikan tambahan produksi barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat. Kalau ada keseimbangan antara produksi barang dan jasa dengan kebutuhan masyarakat, maka hal itu sebagai salah satu syarat menciptakan ekonomi yang stabil. Bisnis memberikan berbagai lapangan kerja kepada masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Melalui bisnis ini manusia dapat memajukan berbagai aspek kehidupannya. Kalau kita perhatikan keadaan di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya, perkembangan bisnis sangat marak. Seharusnya kita sudah sangat makmur dan sejahtera. Tapi, mengapa kehidupan yang makmur sejahtera itu semakin jauh saja rasanya. Hal ini disebabkan tidak adanya keadilan dalam proses berbisnis. Mengapa tidak adanya keadilan, karena rendahnya moral dalam melakukan bisnis. Nilai modal berupa uang dan barang sangat tidak seimbang dengan nilai tenaga, ketrampilan dan keahlian manusia dalam melakukan bisnis. Uang dan barang dalam berbisnis jauh lebih utama dinilai tinggi dari nilai tenaga, keterampilan dan keahlian manusia. Hal ini karena hukum ekonomi tidak dilandasi moral

Memang hukum ekonomi akan berproses secara alami. Kalau jumlah SDM yang dibutuhkan lebih banyak dari daya tampungnya maka SDM itu akan menjadi lebih murah. Murahnya nilai SDM tersebut sesungguhnya jangan sampai melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan rasa keadilan. Karena rendahnya moral dalam melakukan bisnis timbullah hukum rimba. Hukum rimba atau dalam Nitisastra disebutkan Matsya Nyaya adalah yang kuat memakan yang lemah. Tenaga kerja yang melimpah menyebabkan sementara pebisnis melakukan tenaga kerjanya secara tidak bermoral. Banyak pebisnis yang usahanya sudah sangat menguntungkan tetapi karyawannya tidak digaji secara wajar. Pada hal pengusaha tersebut hidup mewah berlebihan. Rumah, mobil, perjalanan dan fasilitas hidup lainya serba berlebihan. Tetapi karyawan yang memiliki andil yang sangat besar dalam menyukseskan bisnisnya, mereka tetap saja dibayar rendah dan paling tinggi sudah merasa terpaksa bila harus membayar sesuai dengap Upah Minimum Regional. Sedangkan Upah Minimum Regional hitung-hitungannya berdasarkan kebutuhan fisik minimum. Bukan kebutuhan hidup minimum.

Di lain pihak Negara menentukan pembangunan manusia seutuhnya. Tetapi hitung-hitungan upah hanya sebatas kehidupan fisik yang minimum lagi. Hal inilah yang akan menimbulkan dosa sosial. Dalam kehidupan sehari-hari kita akan menyaksikan kehidupan yang kesenjangannya sangat mencolok. Ada orang di mana-mana punya rumah sampai mereka susah mau tidur di mana malam ini. Di lain pihak setiap tahun ada orang yang hidupnya sangat tegang karena kontrak rumah sudah habis. Sedangkan uang untuk ngontrak selanjutnya belum ada uang yang terkumpul. Untuk hidup sehari-hari saja masih sering ngutang sana-sini. Orang-orang yang duduk di pemerintahan diharapkan dapat menjembatani hal ini. Tetapi mereka umumnya sibuk menghadiri acara-acara seremonial dan pidato-pidato yang muluk-muluk tanpa bukti memperbaiki kesenjangan. Mereka pun tidak merasakan lagi hidup menderita karena sudah dilimpahi fasilitas yang berlebihan. Jangankan memperhatikan mereka yang jauh-jauh. Nasib bawahannya saja sering tidak mendapatkan perhatian yang wajar dan adil.

Ada sementara pebisnis yang ingin berbisnis yang benar dan wajar untuk membangun kesejahteraan bersama secara adil. Mereka pun sering mendapatkan berbagai kesulitan birokrasi yang berliku-liku. Bahkan Prof. DR. Sumitro Joyohadikusumo, bagawan ekonomi Indonesia pernah mengatakan bisnis Indones.a kena biaya siluman (informal cost) sampai 30 persen dari total biaya produksi. Hal ini juga sebagai pendorong munculnya bisnis tanpa moral. Dan bisnis tanpa moral itu memicu timbulnya tekanan bathin yang sangat kuat pada masyarakat luas, baik langsung maupun tidak langsung. Tekanan psikologis yang struktural ini cepat atau lambat akan memunculkan kekerasan sosial. Dari kekerasan sosial ini akan memunculkan dosa sosial yang lebih luas lagi. Motto bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya, meskipun secara teori sudah ditinggalkan, namun masib saja secara praktis digunakan. Hal itulah yang banyak menimbulkan berbisnis hanya mengejar keuntungan dengan mengabaikan niiai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang luhur

Bisnis Sebagai Media Beragama

Beragama itu bukanlah hanya memuja Tuhan dengan upacara-upacara keagamaan semata. Hakekat upacara agama sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran manusia akan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Dari kesadaran diri itu manusia dapat berbuat baik secara nyata pada sesama dan alam lingkunganya. Salah satu ciri manusia sebagai ciptaan Tuhan yang lebih sempurna dan makhluk lainnya adalah ia bisa bekerja sama dengan sesamanya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kerja sama dengan sesama manusia itu sebagai wadah untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai indikasi ia hidup semakin berkualitas. Kerjasama yang paling intensif itu adalah kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi secara adil.

Keberhasilan kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi ini akan menjadi dasar untuk membangun aspek hidup yang lainnya di dunia ini. Misalnya meningkatkan dinamika kehidupan berkebudayaan. Memajukan kebudayaaan membutuhkan dasar ekonomi yang kuat. Ekonomi yang kuat itu adalah ekonomi yang dibangun berdasarkan teori ekonomi yang wajar dan benar dengan landasan moral yang luhur. Kalau bisnis dipisahkan dengan pengamalan agama, maka bisnis itu akan menjadi garang hanya mengejar keuntungan saja bahkan sampai dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu hendaknya dikembangkan suatu paradigma bahwa berbisnis itu sebagai media beragama. Karena lewat bisnis kita bisa menolong banyak orang. Menolong sesama itu diajarkan oleh semua Agama. Lewat bisnis yang benar kita dapat menolong orang lain lebih nyata. Pertolongan itu adalah pertolongan yang terhormat Bukan seperti memberikan uang recehan kepada seorang pengemis di jalanan. Apa lagi sekarang orang akan lebih menghargai perbuatan nyata dari sekedar memberiikan nasehat.

Lewat bisnis kita dapat menampung berbagai bahan baku dari masyarakat. Dengan demikian bisnis itu sebagai media membuka pasar untuk menyalurkan produk masyarakat. Bisnis yang benar dapat memberikan lapangan kerja kepada banyak pihak. Seperti petani, peternak, pelaut, pengerajin, penambang, dan lain-lain. Demikian juga bisnis dapat menampung orang-orang yang memiliki keterampilan dan keahlian. Apa lagi kalau Bisnis itu menggunakan uang bank sebagai penguat modalnya. Ini artinya kita juga menggunakan uang rakyat yang nabung di bank bersangkutan. Bisnis yang menggunakan uang bank juga banyak dapat menolong orang lain. Masyarakat yang menabungkan uangnya di bank tesebut mendapatkan bunga. Bank yang mengelola simpanan masyarakat juga mendapatkan untung. Dari keuntungan tersebut bank dapat menampung tenaga kerja yang juga berasal dari masyarakat. Kalau kita betul-betul melakukan bisnis yang baik dan benar hal itu sesungguhnya media untuk melakukan ajaran Agama.

Agama mengajarkan agar setiap orang saling memperlakukan sesamanya dengan penuh kasih sayang. Lewat bisnis itu dapat berinteraksi sesama manusia untuk mengembangkan kasih sayang saling melayani untuk kehidupan bersama. Bisnis itu akan langgeng apabila dalam berbisnis itu tidak saling menghancurkan. Bisnis itu justru harus diupayakan untuk saling memelihara dengan sistem sinergi. Bisnis juga harus saling mempercayai dan memelihara kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya. Kalau konsep dan etika bisnis itu benar-benar dijalankan maka bisnis itu sesungguhnya wadah pengabdian pada sesama yang lebih nyata. Lewat bisnis yang benar itulah perputaran saling mengabdi dapat dilakukan. Hidup untuk saling mengabdi adalah hal yang diajarkan oleh agama manapun. Lewat bisnis yang normative dapat menguatkan daya beli rakyat. Dengan semakin kuatnya daya beli rakyat perputaran ekonomi-pun akan semakin sehat, sepanjang hal itu dijaga dengan norma-norma etika ekonomi yang berlaku.
Jadi, hakekat bisnis itu sesungguhnya memberikan banyak peluang untuk mengamalkan berbagai ajaran Agama. Karena bisnis dipisahkan bahkan dibuat ber-dikotomi dengan agama maka seringlah terjadi mala petaka dalam kehidupan berbisnis. Citra bisnis pun menjadi tercoreng. Saling percaya mempercayai pun menjadi semakin rapuh dalam kehidupan bisnis. Kalau bisnis itu diyakini sebagai media untuk mengamalkan agama, maka pebisnis itu tidak akan merasa bahwa bisnis itu miliknya. Usaha bisnis itu adalah titipan Tuhan yang harus dirawat sebagai media memberikan pekerjaan dan kesejahteraan kepada sesama umat yang memiliki akses dalam usaha bisnis tersebut. Apakah itu pemodalnya, managementnya, karyawannya, tidak akan merasa bahwa usaha bisnis itu miliknya dtu adalah Tuhan yang harus dirawat bersama-sama untuk mengembangkan kesejahteraan sampai anak cucu kita seterusnya.

  • Oleh : Drs Ketut Wiana.M.Ag
  • Penulis, Dosen Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri

0 komentar:

Posting Komentar