Senin, 03 Januari 2011

Membangkitkan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan PKBM

Rujukan dari.

Unesco Asia and Fasific regional bereau for education, 2008. Community Learning Center, country Reports from Asia. Bangkok Unesco. 2008. ESD on the move. National and sub regional ESD initiaitif. Bangkok

Sebagai sebuah institusi, rancang bangun PKBM adalah masyarakat,artinya tanpa keberadaan masyarakat, PKBM tidak akan berdiri,Masyarakat adalah bagian inheren dalam sebuah organisasi PKBM, lalu ketika bagian inheren tersebut ditanyakan loyalitasnya, lalu muncul

pertanyaan seberapa PKBM telah mampu memberi layanan kepada masyarakat sebagaimana namanya sebagai lembaga tempat masyarakat belajar dan mengembangkan diri. Kata masyarakat sendiri merupakan istilah yang seksi di Indonesia akhirakhir ini, istilah pembangunan berbasis masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sekolah berbasis masyarakat, pengembangan masyarakat dan banyak lagi pengistilahan yang sepertinya tidak keren kalau tidak menggunakan kata “masyarakat”.

Tumbuhnya kegenitan kalau boleh saya istilahkan walaupun pada akhirnya berefek positif, tidal lepas dari peran ornop sebagai suatu bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini yang mencoba mendobrak kemapanan sistem orde baru yang sentralistik dan top down. Ketika pembangunan masa itu berupa pemaksaan dari atas, ornop mencoba membangun basis pembangunan berdasar apa kebutuhan dan keinginan masyarakat yang seringkali logika ini tidak sama dengan logika pemerinrtah saat itu. Maka mulailah istilah berbasis masyarakat mendapatkan tempat apalagi ada kesadaran yang mulai massif dikalangan akademisi cum aktivis bahwa peradaban dan kemajuan sebuah bangsa akan bisa didapat ketika masyarakat dibangunkan kesadarannya untuk membebaskan diri dari belenggu ketidakmerdekaan dan keterbelakangan. Dan ketika akademisi cum aktivis muali bergerak dan mendekat pada birokrasi maka birokrasipun mengadaopsi pola dan model pemberdayaan ini menjadi basis dari program-program yang dibangun, apalagi berbagai institusi keuangan dan pembangunan international [donor] kadang-kadang memberi persyaratan bahwa pola pembangunan yang boleh dan harus dilakukan harus berbasiskan pada kondisi masyarakat. Konsep PKBM lahir dari pemikiran bahwa masyarakat perlu diberdayakan, sehinngga perlu dimunculkan komunitas-komunitas dalam masyarakat yang mempunyai kesadaran berkumpulan dan mengorganisir diri sehingga menjadi wadah bagi masyarakat itu sendiri untuk saling belajar, saling asih dan saling asuh.

Tidak bisa disangsikan bahwa aroma ornop/LSM sangat kental dalam struktur dan kelembagaan serta program dari banyak PKBM, ketidakketatan pola dan model PKBM sebenanarnya menunjukkan betapa PKBM adalah narasi bebas bagi masyarakat, ketika masyarakat merupakan individu dan kelompok yang bervariasi maka PKBM pun boleh bervariasi. Hal ini pun merupakan titik keunggulan dari PKBM sebagai sebuah institusi, ketika keketatan institusi formal membuat gerak langkah tidak bebas maka pola kebebasan PKBM membuka ruang bagi PKBM untuk bergerak selincah LSM dalam merancang, mengelola dan mengembangakan institusi pemberdayaan, namun dibandingkan dengan LSM, PKBM mempunyai kedudukan yang lebih baik, seperti kita ketahui bahwa sampai hari ini ketika jumlah LSM menjadi tidak terkendali [dan memang tidak bisa dikendali] dengan berbagai tingkah, lagak dan kenederungannya, maka PKBM masih dilihat sebagai institusi yang cukup pure, dalam arti tidak dipandang sebelah mata seperti lsm yang hari ini tidak lagi dianggap murni namun lebih sebagai media kepentingan. Posisi seperti inilah yang seharunya meletakkan PKBM pada posisi yang positif baik di lihat dari kacamata pengambil kebijakan [pemerintah], maupun dimata masyarakat.

Dilihat dari latar sejarah, kelahiran PKBM, CLC dapat dirunut dari upaya berbagai kelompok masyarakat yang didominasi oleh LSM/ornop dalam membangun sebuah institusi masyarakat yang mampu memberdayakan diri sendiri dengan sokongan pada masa itu dari berbagai LSM. Lalu ketika Unesco APPEAL mencanangkan pengembangan CLC di berbagai Negara asia pasifik maka pertumbuhan PKBM/CLC menjadi sangat luar biasa. Dari sisi jumlah CLC yang telah dibangun menunjukkan pertumbuhan yang sangat luar biasa.

Di Veitman sampai pertengahan 2008 total jumlah CLC mencapai 5,384 buah, di Thailand mencapai 8,057 buah, sedangkan Indonesia mencapai 3,064 buah. Jumlah ini sangat bervariasi dari cakupan program, ebsaran program, dan kuantitas dan kualitas kelembagaan. Ketika posisi sangat memungkinkan, ketika peran telah mendapatkan pengakuan dalam UU [coba bandingkan dengan LSM] maka seharunya PKBM lebih mempunyai peran dalam membangunkan keberdayaan masyarakat melalui pendidikan non formal. Namun kenyataanya peran PKBM masih terbelenggu pada ranah yang masih sempit tak selebar peran yang bisa dilakukan.

Dalam ranah yang sempit pun seolah PKBM terlepas dari akar masyarakatnya. Kembali ke pertanyaan diawal makalah ini, yang mempertanyakan peran masyarakat menunjukkan PKBM tercerabut dari masayarakat yang ada disekelilingnya. Keinginan melibatkan masyarakat dalam mengelola PKBM adalah sebuah keharusan dan malah hukumnya wajib, dan disinilah tanatangan terbesar yang akan dihadapi oleh kita semua yang berkecimpung di dalam dunia perPKBMan. Hanya masalahnya kita harus mulai darimana. Pelibatan masyarakat dalam institusi PKBM dapat dilihat dari dua perspektif, perspektif pertama menempatkan masyarakat sebagai pelaku aktif dalam pengelolaan PKBM. Sebagai pemain aktif maka masyarakat memberi kontribusi secara aktif dalam pengelolaan PKBM. Keaktifan masyarakat tidak hanya dalam mengelola namun juga dalam mengembangkan PKBM. Dalam perspektif yang berbeda, pelibatan masyarakat dapat dilihat sebagai adanya respon positif masyarakat dalam setiap program dan kegiatan PKBM, respon disini bisa berupa aktif menjadi anggota dan menjalankan program PKBM

Dalam menjalankan kedua perpektif tersebut, PKBM harus merubah mindset kelembagaan, PKBM harus memetaformiskan diri menjadi organisasi yang terbuka. Terbuka dalam arti harus lebih membuka diri terhadap masyarakat sekitar, dan yang lebih penting segera mempraktikan

akuntabilitas baik dari sisi ketebukaan sistem kaderisasi dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan. KENALI LEBIH DALAM MASYARAKAT SEKITAR. PKBM lahir, besar dan berkembang di dalam masyarakat, namun seringkali individu-individu kurang mengenal apa kebutuhan masyarakat sekitar. Maka semenjak awal PKBM perlu melakukan pemetaan yang mendalam mengenai situasi dan kondisi masyarakat sekitar, tidak sekedar data dasar yang harus dimiliki data-data pendukung selayaknya perlu dimiliki oleh PKBM.

Dalam hal PKBM memposisikan sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk berbenah dan menjadi lebih baik, jangan sekali-kali PKBM memposisikan sebagai fihak yang banyak tahu apa kebutuhan dan keinginan dari masyarakat. Karena tidak selalu apa yang baik dimata masyarakat baik dimata PKBM dan sebaliknya, ketika titik temu antara PKBM sebagai institusi dan masyarakat sebagai subjek dari kehadiran institusi bernama PKBM maka program dan agenda PKBM tidak saja akan berkembang namun juga akan didukung oleh masyarakat. Baru ketika masyarakat sekitar tergarap dengan pola yang lebih komperehensif, pola yang sama dilakukan dimasyarakat yang lebih luas, dalam hal ini PKBM perlu membangun sistem kaderisasi dan pembentukan fasilitator di tiap-tiap wilayah. Gunanya fasilitator ini sebagai tangan kanan PKBM di wilayah tersebut. Sehingga problem wilayah tersebut dapat dijadikan sumber program dan kegiatan PKBM.

0 komentar:

Posting Komentar