( Kesejahteraan Umat Hindu )
"Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan) hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, kata-katanya, dan pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain"
(Bhagawata Purana : 10.22.35)
Latar belakang :
Tujuan hidup manusia menurut Weda adalah kebahagiaan yang di dalamnya terkandung makna kesejahteraan, ketertiban, keselamatan dan kebebasan. Secara khusus tujuan hidup ini dirumuskan sebagai Catur Purusaartha, yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Untuk mencapai tujuan ini Weda menekankan pada upaya-upaya ritual (karmakanda). Upanisad lebih menekankan pada pencapaian kebebasan individu (jivanmukti) melalui jnana yoga, khususnya pengetahuan tentang Brahman dan atman. Bagawad Gita menjadikan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat (lokasamgraha) yang dicapai melalui karmayoga sebagai ajaran sentralnya. (Narayan Champawat).
Dr. Sarvepalli Radhakrishnan mengartikan lokasamgraha sebagai : "The maintenance of the world, stands for the unity of the world, the interconnectedness of society" (pemeliharaan dunia, berarti kesatuan dunia, kesalingterhubungan antar masyarakat"). Supaya dunia tidak jatuh ke dalam penderitaan phisik dan degradasi moral, supaya kehidupan bersama menjadi pantas dan terhormat, etika agama seharusnya mengontrol perilaku sosial.
Lokasamgraha, secara umum berarti "kesejahteraan bagi semua" (universal well-being). Di dalam keputusan ini Lokasamgraha, "Kesejahteraan bagi semua", lebih difokuskan kepada kesejahteraan bagi semua pemeluk Hindu. Pemeluk Hindu merupakan bagian dari masyarakat dunia. Tidak mungkin tercapai ketertiban dan kesejahteraan dunia, bila salah satu bagiannya, dalam hal ini para pemeluk Hindu, tidak sejahtera. Sejahtera disini dimaksudkan suatu keadaan dimana para pemeluk Hindu mencapai taraf hidup yang layak, bebas dari kemiskinan, material maupun spiritual.
Lokasamgraha adalah ideal masyarakat Hindu. Lokasamgraha mengisyaratkan, adanya kesadaran sosial dari masing-masing pemeluk Hindu, bahwa pencapaian masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang bebas dari kemiskinan material maupun spiritual, memerlukan adanya kesetiakawanan, solidaritas, saling tolong menolong, (bahasa Bali "salunglung sabayantaka"), atau kesalingterhubungan dari seluruh pemeluk Hindu.
Kesadaran, solidaritas sosial dan kesalingterhubungan ini melintasi klan, soroh, marga, dadia, padarman, suku bangsa. Dengan kata lain, setiap pemeluk Hindu, dimanapun dia berada, apapun klan, marga atau suku bangsanya adalah saudara bagi pemeluk Hindu lainnya. Penderitaan seorang pemeluk Hindu, adalah juga penderitaan bagi pemeluk Hindu lainnya. Kebahagiaan bagi seorang pemeluk Hindu adalah juga kebahagiaan bagi pemeluk Hindu lainnya. Solidaritas keumatan ini, dalam masyarakat Hindu di Bali disebut "suka duka". Konsep, norma, dan nilai-nilai suka-duka, perlu diperluas, tidak hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ritual atau upakara, tetapi juga meliputi bidang lain, seperti misalnya bidang ekonomi dan pendidikan. Dan tidak hanya bagi pemeluk Hindu yang berasal dari suku Bali, tapi mencakup seluruh pemeluk Hindu di Indonesia, apapun sukunya.
Bagaimana keadaan kita dewasa ini? Kalau kita melihat hasil sensus penduduk sejak tahun 1980 sampai tahun 2000, kita dapat menarik kesimpulan, diantara umat beragama di Indonesia SDM Hindu adalah yang paling lemah. Dari tahun ketahun, tingkat buta huruf umat Hindu adalah yang paling tinggi. Untuk sensus tahun 1980 tingkat buta huruf pemeluk Hindu adalah 38%, sensus tahun 1990 sebesar 25% dan tahun 2000 sebesar 16,9%, dengan rincian tingkat buta huruf untuk perempuan Hindu adalah 23,2% dan laki-laki adalah 10,4%.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa tingkat ekonomi pemeluk Hindu juga rendah, terbukti banyak dari mereka yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Dan seperti lingakran setan, karena pendidikannya rendah, umat Hindu tidak mampu menjadi manusia kreatif yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sementara di sisi lain, ada umat Hindu, baik secara individu, maupun kelompok serng membuat upacara-upacara besar dengan biaya mahal.
Dari sudut pandang agama lalu menimbulkan pertanyaan : apakah para pemeluk Hindu hanya mencari keselamatan bagi diri atau keluarganya masing-masing? Tidakkah agama Hindu memiliki ajaran tentang etika sosial, norma atau ajaran yang mendorong pemeluknya untuk ikut memikirkan dan membantu keselamatan, kesejahteraan sesama umat Hindu, di luar batas klan dan marganya?
Doktrin Etik Hindu .
Doktrin-doktrin etik (ethical doctrines) pemeluk Hindu didasarkan atas ajaran Upanishad dan pustaka suci tingkat kedua lainnya, seperti Smerti, Itihasa dan Pruana lainnya, yang semuanya bersumber pada otoritas Weda. Sekalipun penekannya pada etika subyektif, Upanisad tidak menolak nilai-nilai dari etika sosial. Misalnya disebutkan : "Seperti bau (harum) yang yang diterbangkan sampai jauh dari sebatang pohon yang dipenuhi bunga, demikian juga aroma perbuatan baik tercium sampai jauh." Beberapa dari kebajikan sosial (social virtues) ini adalah antara lain "keramahan terhadap tamu (hospitality), sopan santun (courtesy), dan kewajiban pada istri, anak-anak dan para cucu". Dalam salah satu Upanisad disebutkan, seorang raja, ketika menjawab pertanyaan seorang Reshi mengenai keadaan negaranya, mengatakan : "Di dalam negara saya tidak ada pencuri, orang kikir, pemabuk, tidak ada orang yang tidak memiliki tempat pemujaan di rumahnya, tidak ada orang bodoh, tidak ada lelaki yang melakukan gamya, apalagi perempuannya."
Tindakan-tindakan etik yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial diperintahkan kepada siapa saja yang mengidentifikasikan dirinya dengan dunia dan sadar akan tanggung jawab sosial mereka. Tanpa pengendalian etika, akan terjadi kekacauan, yang akan merusak pengembangan kebajikan spiritual. Menurut Upanisad, para dewa, yang merupakan penjaga dari masyarakat, menaruh halangan di jalan orang-orang yang mencari kebebasan dari samsara, atau dunia relatif ini tanpa terlebih dahulu melaksanakan tugas dan kewajiban sosial mereka.
Setiap manusia normal yang dianugrahi dengan kesadaran sosial (social consciousness) mempunyai paling sedikit tiga kewajiban untuk dilakukan : membayar hutang kepada Tuhan dan para dewa; kepada para Rsi, dan kepada para leluhur.
Pelaksanaan dari etika sosial, dalam ukuran yang luas, telah melindungi masyarakat Hindu dari serangan yang berupaya menghancurkannya. Sebaliknya pengabaian dari etika sosial, telah melemahkan vitalitas dari masyarakat Hindu. (Swami Nikhilananda : An Essey on Hindu Ethics).
Keadilan dan Kesejahteraan Sosial
Bahkan filosofi Hindu Wedanta mengandung ajaran tentang keadilan sosial. Advaita Wedanta, yang bersifat monisme, menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah Tuhan. Sesuai dengan filosofi ini Tuhan adalah lautan dan jiwa individu adalah ombak dari lautan, yang memiliki identitas sementaranya sendiri, tapi tetap sebagai bagian dari lautan. Sesuai dengan filosofi lainnya, Dwaita, atau dualisme, Tuhan dan manusia adalah terpisah; manusia seperti kendi tanah yang diisi air yang diambil dari lautan yang sama adalah Tuhan. Esensi dari hidup- prinsipnya atau kesadaran dari tiap orang adalah sama.
Kedua konsep ini akan menghasilkan kesadaran bersama yang membuat kita empati terhadap penyakit dan penderitaan orang lain. Karena kita tidak saja identik, tetapi sama dengan orang lain. Oleh karena itu kita seharusnya tidak segan untuk menolong orang lain.
Tetapi ada perbedaan yang lebar antara ide utama dari filosofi Hindu dan tingkah laku sosial Hindu. Jurang yang lebar antara si kaya dan miskin, dan orang kaya yang tak berperasaan kepada si miskin berlawanan dengan prinsip dari filosofi Hindu. Demikian juga membuat upacara besar dengan biaya mahal, sementara kita acuh tak acuh dengan umat Hindu lain yang tidak mampu, adalah berlawanan dengan filosofi Hindu
Pada setiap zaman, orang suci Hindu membuat sekolah untuk mengajarkan tekniknya sendiri untuk mencapai realisasi-diri, dengan yoga dan meditasi sebagai jalannya. Beberapa orang melayani orang miskin, sakit, dan yatim piatu. Jika kita semua ikut ambil bagian dalam hal ini, perbaikan ini tak berarti tanpa perbaikan secara menyeluruh. Bagaimana mungkin pundak kita bebas jika kaki kita masih terbenam di bumi ini?
Tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari filosofi Hindu. Setiap umat Hindu harus empati terhadap kebutuhan orang lain, karena merupakan bagian dari yang lainnya; sebenarnya mereka merupakan bagian dari Tuhan yang sama. Swami Dayananda Saraswati, pendiri dari Arya Samaj, sebuah gerakan pembaharu Hindu di abad 19, menempatkan kegiatan sosial sebagai bagian dari 10 prinsip yang beliau inginkan agar diikuti oleh semua umat Hindu. Tak ada seorang pun, kata beliau, harus bahagia dengan niat baiknya sendiri, tapi harus lebih berjuang untuk kebaikan bersama.
Swami mengatakan bahwa yoga, penyatuan dengan Tuhan, dan yadnya, korban suci, adalah pilar kembar agama Hindu. Beliau menyarankan agar semua umat Hindu melakukan lima jenis korban suci setiap hari: dua untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan realisasi-diri dan tiga untuk yang lainnya – untuk orang tua, tamu dan orang lainnya, persediaan untuk hidup dan lingkungan (Vidya Bhusan Gupta)
Lokasamgraha : perkembangan konsep.
Perobahan dalam tekanan ajaran Weda kepada Upanisad tidak bisa dipahami secara mudah karena perhatian utama dari tapa Upanisad adalah jivanmukti dan moksha untuk pribadi. Bereaksi terhadap keprihatinan sosial dan filosofi tertentu pada akhir millennium pertama sebelum zaman bersama (common era (ce), atau abad masehi) Bagawad Gita mengadopsi satu sikap sintesis dan kompormistis dan melegitimasi karma yoga tanpa mengesampingkan ajaran-ajaran mulia Hindu yang lainnya. Para penafsir modern dari Bagawad Gita seperti Vivekananda, Tilak, Sri Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Pandurang Shastri dan banyak lainnya lagi telah berpaling pada filosofi Lokasamgraha dan karma yoga dari Bagawad Gita untuk menjawab problem dan tantangan dari India modern. Membuktikan bahwa Bagawad Gita adalah sarvajanahitaparam shastram, sebuah kitab suci yang memperhatikan atau memberikan perhatian kepada setiap orang.
Bagawad Gita mengatakan : "saktah karmany avidavamso yatha, khurvanti bharata, kuryad vidvams tathasaktas cikirsur loka-samgraham" (Bagawad Gita : III.25). artinya : "Seperti orang yang bodoh yang bekerja keras karena keterikatan atas kerja mereka demikian seharusnya orang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial."
Dr. Sarvepalli Radhakrishnan menyebutkan bahwa tujuan dari agama adalah untuk menyepiritualkan masyarakat dalam rangka membangun persaudaraan di atas bumi ini. Veda meneguhkan kehidupan, seperti dalam mantra:
Sarve bhavantu sukhinah,
Sarve santu nirmayah,
Sarve bhadrani pasyantu
Ma kaschit duka bhag bhavet,
Om loka samasta sukhino bhawantu.
artinya:
Semoga semua hidup bahagia, semoga semua menikmati kesehatan yang baik, Semoga semua mendapat keberuntungan, semoga tiada seorangpun mengalami kesedihan, Semoga damai dimana-mana.
Mantra ini menekankan bahwa keselamatan pribadi bukanlah satu-satu tujuan, tetapi bahwa kesejahteraan mayarakat, terutama masyarakat para pemeluk Hindu, adalah sama pentingnya bahkan jauh lebih penting.
Dunia dewasa ini tidak bisa dianggap sebagai maya atau ilusi tapi sebagai suatu yang sangat nyata, dimana penderitaan dan kesedihan adalah fakta kehidupan, dan bahwa dunia penderitaaan dan kesedihan tidak dapat diabaikan dalam pengejaran moksha pribadi. Swami Vivekananda menyebut Tuhan sebagai daridra narayan menyatakan dengan sangat jelas prinsip-prinsip dari neo-Vedanta karena ia percaya bahwa konsep-konsep mulia dari Advaita Vedanta haruslah tersedia bagi mahluk yang paling lemah dan paling sederhana, dan oleh karenanya ini akan memberikan agama Hindu wawasan yang lebih universal.
Sarasamuccaya menyebutkan : "dhaarmarthamkammamoksanam pranah samsthiti hetavah tan nighnata kin na hatam raksa bhutahitartha ca" (Sarasamuccaya : 135). Artinya : oleh karenanya usahakanlah kesejahteraan makhluk itu jangan tidak menaruh belas kasihan kepada segala makhluk, karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjamin tegaknya catur purushaarta, empat tujuan hidup, yaitu dharma, artha, kama dan moksha; jika mau mencabut nyawanya mahkluk betapa itu tidak musnah olehnya; demikianlah orang yang menjaga kesejahteraan makhluk itu, dia itulah yang disebut menegakkan catur warga (catur purusharta); dinamakan abhutahita, jika sesuatunya itu tidak terjaga atau terlindungi olehnya.
Selanjutnya Sarasamuccaya mengatakan : "dhanani jivitam caiva parrthe prajna utsrajet, sannimittam varam tyago viase niyate sati" (Sarasamuccaya : 175). Artinya : "Maka tindakan orang yang tinggi pengetahuannya, tidak sayang merelakan kekayaannya bahkan nyawanya sekalipun, jika untuk kesejahteraan umum; tahulah dia bahwa kematian pasti datang dan tidak ada sesuatu yang kekal; oleh karena itu adalah lebih baik berkorban demi untuk kesejahteraan umum."
Dua ribu tahun silam, Raja Bhartrihari menulis dalam Niti Sataka : "Tanpa diminta, sinar matahari memekarkan bunga padma yang kuncup, bulan memekarkan bunga kamalini (sejenis bunga sedap malam), dan awan mejatuhkan hujan. Demikian pula orang yang baik menolong orang lain atas keinginan mereka sendiri."
Orang baik dengan keinginan sendiri selalu ingin menolong seluruh manusia, khususnya para pemeluk Hindu, dan ia menganggap hal itu adalah kewajibannya yang utama.
Optimalisasi potensi untuk pengembangan mutu umat Hindu
Lokasamgraha sebagai suatu tujuan mulia dari masyarakat Hindu, dapat diwujudkan melalui suatu proses. Dimulai dengan proses tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan para pemeluk Hindu, bahwa masing-masing dari kita adalah bersaudara satu sama lain. Bahwa hakikat diri kita sebetulnya sama. Penderitaan bagi yang satu adalah penderitaan bagi yang lain. Kebahagiaan bagi yang satu adalah kebahagiaan bagi yang lain.
Masyarakat Hindu yang sejahtera, adalah merupakan jumlah total dari individu dan keluarga Hindu yang sejahtera. Pada hakikatnya setiap individu para pemeluk Hindu, harus mampu menciptakan kesejahteraannya sendiri, melalui karma atau tindakannya sendiri. Dan untuk itu dia haruslah memiliki kemampuan, keahlian, pengetahuan dan ketrampilan untuk menunjang profesinya, dengan mana ia mencapai kesejahteraan diri dan keluarganya.
Tetapi adalah fakta juga, karena keadaan ekonomi, banyak sekali keluarga Hindu yang tidak mampu menyekolahkan putra-putri mereka. Dan ini membuat mereka tidak mampu keluar dari kesulitan. Kesulitan dan kelemahan di bidang ekonomi rawan bagi fondasi keyakinan mereka terhadap agama Hindu.
Di pihak lain banyak dari para pemeluk Hindu yang mampu bahkan kuat secara ekonomi, pendidikan dan status sosial. Dan mereka pada umumnya memiliki ketulusan untuk berdana punia. Hanya saja sementara ini dana punia itu lebih banyak untuk tujuan yadnya dalam arti tradisional, yaitu upakara dan pembangunan tempat sembahyang.
Kini adalah saatnya bagi kita semua untuk memperluas makna yadnya, tidak saja pengorbanan dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama umat, berdasarkan ‘daya" (compassion atau cinta kasih) dan ‘dana’ (pemberian bantuan). Dana bukan untuk jangka pendek, atau karitas sentimental, berupa sedekah untuk sekedar menghilangkan lapar. Dana haruslah untuk suatu yang bersifat jangka panjang atau stategis, yaitu untuk peningkatan kualitas SDM Hindu. Dana bukan memberi ikan, tetapi memberi kail.
Agama yang tidak peka terhadap penyakit masyarakat dan tidak ikut ambil bagian dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern, tidak menarik bagi manusia modern. ( Sarvepalli Radhakrisnan)
0 komentar:
Posting Komentar